Sabtu, 22 Oktober 2011

Markamah sang kembang klaras


MARKAMAH
(Sang Kembang Klaras)

Markamah adalah putri sulung dari Kyai Hasan Mukmin, seorang pahlawan daerah Sumentara, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.  Kyai Hasan Mukmin dan putri sulungnya, Markamah, berikut santri-santri beliau, menentang kesewenang-wenangan Belanda dalam melakukan politik tanam paksa, terutama hasil pertanian tebu. 
Kyai Hasan Mukmin sangat menentang ketidak adilan yang dirasakan rakyat sidoarjo pada waktu itu, khususnya daerah gedangan dan sekitarnya berikut daerah Sumentara / Mentoro dimana Kyai Hasan Mukmin membangun pusat pendidikan agama berupa  pondok pesantren.  Ketidak adilan serta kesewenang-wenangan pihak pemerintah Belanda  yang dirasakan adalah berlakunya pajak yang terlalu tinggi, penanaman paksa beberapa produk palawija, serta pemaksaan hasil panen tebu yang harus disetorkan dengan harga murah berikut pemaksaan untuk menjadi buruh paksa jika musim giling tiba, hal-hal demikian yang menjadi pemicu perlawanan Kyai Hasan Mukmin dan putri Beliau berikut para santri.
Setiap habis shalat Magrib, para santri selalu mengadakan pertemuan di rumah Kyai Hasan Mukmin di Sumentara. Pertemuan-pertemuan ini membahas tentang peraturan Belanda yang dirasa sangat memberatkan bagi petani. Semakin lama pertemuan para anggota tarekat itu bukan lagi pertemuan untuk membahas permasalahan petani. Tetapi sudah mengarah pada rencana pemberontakan terhadap peraturan Belanda di Sidoarjo.  Dan Markamah selalui mendampingi ayahnya dalam pertemuan-pertemuan tersebut.  Markamah bukanlah seorang perempuan yang hanya mampu bertopang dagu saja melihat penderitaan rakyat akan kekejaman Belanda, tapi dia juga ikut merasakan merasakan penderitaan mereka bahkan dia juga ikut turun ke medan pertempuran menemani Sang Ayah, Kyai Hasan Mukmin, yang berjuang menumpas kezaliman di Bumi Allah.
Wejangan dari ayahnya tentang keadilan, rasa sosial dan solidaritas, telah merasuk kedalam jiwa Markamah sebagi seorang perempuan yang halus perasaannya.  Sebagai seorang perempuan berumur belasan dan putri dari seorang tokoh agama yang berpengaruh, Markamah selalu mendidih darah mudanya tiap kali melihat, mendengar, dan merasakan penderitaan rakyatnya, baik melihat sendiri atau ikut dengar dalam pertemuan-pertemuan tiap habis sholat Magrib.  Walaupun dia harus menutup gelora jiwa mudanya di balik tubuh seorang perempuan yang halus budi.
Hingga pada waktu yang ditentukan. hari kedua belas bulan Maulud tahun Wawu atau 27 Mei 1904, adalah hari yang ditentukan Kyai Hasan Mukmin untuk memulai perlawanan, dan Markamah dengan restu berat hati dari ayahnya ikut serta mendampingi perjuangan ke medan pertempuran, walaupun bedil-bedil tentara belanda siap menjemput maut.  Markamah tidaklah gentar.
Setelah sholat Maghrib, iring-iringan para santri dipimpin oleh Kyai Hasan Mukmin berikut putrinya, Markamah, menuju tempat yang telah ditentukan untuk melakukan perlawanan, yaitu di daerah Keboan Pasar sekitar Gedangan.  Pasukan Kyai Hasan Mukmin bercirikan daun pisang kering (klaras) yang diselampangkan mulai melakukan perlawanan kepada pasukan Belanda yang dikirim dari Kabupaten Sidoarjo
Pasukan Belanda yang jumlahnya ratusan dan bersenjata lengkap tak menciutkan nyali para santri Kyai Hasan Mukmin yang hanya bersenjata keris, pedang, dan benda tajam lainnya, bahkan Markamah ikut membangkitkan semangat para santri dengan teriakan takbir, serta janji mati syahid bagi siapapun yang berjihad, berjuang di jalan Allah.  Sebuah jalan kematian yang mendapatkan pahala surga kelak di akhirat.
Tapi tetaplah senjata tajam tak mampu mengalahkan  bedil lengkap dengan pasukan Belanda berjumlah ratusan.  Puluhan santri meninggal sebagai syuhada dan tak sedikit yang terluka berikut Kyai Hasan Mukmin memundurkan langkah perlawanannya kembali ke Sumantoro.  Pasukan Belanda tak tinggal diam dan melakukan pengejaran sampai ke Sumantoro dimana Kyai Hasan Mukmin dan sisa-sisa santri yang terluka berada.  Perlawanan kembali pecah di Sumantoro, dan Kyai Hasan Mukmin gugur sebagai syuhada.
 Bagaimana dengan Markamah ?  dia terpisah dari ayahnya setelah tercerai berai pada perlawanan di Keboan Pasar.  Markamah juga mendengar atas gugurnya Sang Ayah.  Dia semakin marah dan ingin membalas dendam, tapi sebagian santri Kyai Hasan Mukmin yang masih bersamanya melarang Markamah untuk melakukan perlawanan kembali, karena pihak Belanda akan membasmi semua keturunan Kyai Hsan Mukmin, terutama Markamah yang di ketahui mengikuti perlawanan bersama ayahnya. Beruntung ketiga adik Markamah yang msih kecil sudah diungsikan sebelum perang di mulai.   Para santri yang tersisa menginginkan Markamah menyingkir dan tetap mengajarkan ajaran Kyai Hasan Mukmin walau dengan identistas baru.  Hingga pada saat itu Markamah dikabarkan hilang, lenyap, atau muksa, sampai sekarang tak diketahui keberadaannya….